Mempersoalkan Hak Berserikat Advokat Oleh: Frans H Winarta *)

Cetak
Konflik internal antar organisasi profesi advokat membawa kerugian bagi upaya penegakan hukum secara keseluruhan.

 

 

Hak atas kebebasan berserikat adalah hak konstitusional setiap advokat yang semestinya dijamin dan dilindungi oleh negara. Namun, hak atas kebebasan berserikat ini pada kenyataannya dibatasi dengan diberlakukannya Undang-undang RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Selain itu, adanya multitafsir di dalam ketentuan UU Advokat juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional para advokat atas kepastian hukum. Hal tersebut telah menjadi sumber konflik internal antar organisasi profesi advokat yang sampai saat ini masih berlangsung dan telah membawa kerugian tidak hanya kepada para advokat saja, tetapi juga terhadap para pencari keadilan dan terhadap upaya penegakan hukum secara keseluruhan.

Untuk mengakhiri perseteruan berkepanjangan tersebut dan demi mengembalikan citra profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile), maka sembilan orang advokat senior yang terdiri dari: Dr. Frans H. Winarta, S.H., M.H., Bob P. Nainggolan, S.H., M.H., M.M., Maruli Simorangkir, S.H., Murad Harahap, S.H., Lelyana Santosa, S.H., Nursyahbani Katjasungkana, S.H., David Abraham, BSL., Firman Wijaya, S.H., M.H. dan Dr. SF. Marbun, S.H., M.Hum., mengajukan permohonan Uji Materiil (materiële toetsingrecht) ketentuan UU Advokat terhadap batu uji UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi RI, dengan nomor registrasi perkara No. 66/PUU-VIII/2010 (“Perkara Nomor 66”).

 

Uji materiil yang diajukan dalam perkara ini berbeda landasan pikir dan alasannya dengan perkara-perkara lain yang pernah dimintakan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dan begitupun dengan perkara nomor 71/PUU-VIII/2010 (“Perkara Nomor 71”) dan 79/PUU-VIII/2010 (“Perkara Nomor 79”) yang diperiksa bersama-sama dengan Perkara Nomor 66 karena alasan praktis. Ini dapat dilihat dari tanggal pengajuannya, dimana Perkara Nomor 66 diajukan pada tanggal 14 Oktober 2010 yang lebih dini dari dua perkara tadi yaitu Perkara Nomor 71 diajukan pada tanggal 1 November 2010 dan Perkara Nomor 79 diajukan pada tanggal 30 November 2010.

 

Perkara Nomor 66 yang diajukan sembilan advokat senior berdasarkan pada permohonan uji materiil tiga pasal UU Advokat yaitu Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (4), Pasal 30 ayat (2) UU Advokat terhadap Pasal 36A, Pasal 28E ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Perkara Nomor 66 ini mempersoalkan hak berserikat advokat, sebagai hak khusus dari profesi bebas (free legal profession) advokat yang berbeda dengan penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim yang tidak boleh dibatasi kecuali oleh keputusan para advokat itu sendiri melalui kongres advokat yang demokratis. Begitu pula UU Advokat pun tidak dapat membatasi hak berserikat advokat kecuali diputuskan oleh para advokat sendiri melalui suatu Munas advokat, seperti NOVA di Belanda yang kemudian disahkan Advocaten Wet. Penggiringan dan pembatasan hak berserikat ini bertentangan dengan hak berserikat advokat yang diatur Pasal 17 IBA Standard on The Independence of The Legal Profession, Pasal 24 UN Basic Principles on The Role of Lawyers dan Pasal 97 Singhvi Declaration.

 

Ketiga instrumen itu mengatur secara khusus hak berserikat advokat yang harus dihormati oleh kita sebagai bangsa beradab sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Adapun ketiga instrumen itu menentukan sebagai berikut:

 

Pasal 17 IBA Standard on The Independence of The Legal Profession:

“There shall be established in each jurisdiction one or more independent self-governing associations of lawyersrecognised in law, whose council or other executive body shall be freely elected by all the members without interference of any kind by any other body or person. This shall be without prejudice to their right to form or join in addition other professional associations of lawyers and jurists.“

Pasal 24 UN Basic Principles of The Role of Lawyers:

“Lawyers shall be entitled to form and join self-governing professional associations to represent their interests, promote their continuing education and training and protect their professional integrity. The executive body of the professional associations shall be elected by its members and shall exercise its functions without external interference.”

Butir 97 Signhvi Declaration:

“97. There may be established in each jurisdiction one or more independent and self-governing associations of lawyersrecognized in law, whose council or other executive body shall be freely elected by all the members without interference of any kind by any other body or person. This shall be without prejudice to their right to form or join in addition other professional associations of lawyers and jurists.”

Ketiga instrumen internasional tadi mengatur kebebasan advokat (lawyer) berserikat yang beda dengan penegak hukum karena advokat (lawyer) tidak mempunyai kewenangan  menahan (right to detain) atau lebih dikenal dengan “police power”, yang menurut Pasal 1 United Nations Code of Conduct for Law Enforcement Officials 1979, dinyatakan sebagai berikut:

 

(a) The term “law enforcement officials”, includes all officers of the law, whether appointed or elected, who exercise police powers, especially the powers of arrest or detention.”

Hal berserikat advokat yang khusus tersebut juga didukung oleh pernyataan International Commission of Jurists yang menyatakan bahwa:

 

As is the case with judges, freedom of expression and association constitute essential requirements for the proper functioning of the legal profession. Although these freedoms are enjoyed by all persons, they acquire specific importance in the case of persons involved in the administration of justice.

 

Inilah kekeliruan fundamental yang dibuat UU Advokat khususnya dalam pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang mengakui advokat sebagai penegak hukum. Persoalan ini berakibat jauh kepada profesi advokat yang antara lain dipersatukan dalam satu organisasi  lebih dikenal sebagai wadah tunggal (single bar association) seperti polisi, jaksa dan hakim. Ide wadah tunggal itu sendiri datang dari pemerintah Orba yang korporatis dan ingin melihat hanya ada satu organsiasi seperti buruh, wartawaan, Advokat, dll agar mudah diawasi dan dikontrol.

Tentunya ini bertentangan dengan hak berserikat yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan khususnya hak berserikat advokat yang secara lex spesialis diatur dalam 3 (tiga) instrumen yang disebutkan tadi. Memang benar adanya bahwa hak berserikat dapat dibatasi karena hak tersebut bukanlah hak yang tidak dapat ditunda (derogable rights), namun demikian, instrumen internasional secara jelas menyatakan bahwa pembatasan hak untuk berserikat ini hanya dapat dilakukan semata-mata dalam hal negara berada dalam keadaan darurat (state of emergency). Jika ditinjau berdasarkan doktrin margin of appreciation yang memang memungkinkan negara untuk melakukan pembatasan atas hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak berserikat, pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan setelah mempertimbangkan kondisi sosial, budaya dan sejarah dari negara tersebut yang tentunya berbeda dengan negara lain. Realita sosial ini yang perlu diperhatikan oleh hakim nasional yang dianggap paling tahu, sebagaimana termaktub dalam putusan Mahkamah Agung Kanada dalam perkara R. v. R.D.S., [1997]. No. 84, pada tahun 1997, dimana dinyatakan bahwa hakim haruslah sensitif mengenai isu-isu sosial yang mempengaruhi masyarakat dan Margin of Appreciation harus dihindarkan apabila tidak diperlukan benar, karena berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Sedangkan ketika RUU Advokat disusun pada  awal tahun 2000–an, negara tidak berada dalam kondisi darurat dan samasekali tidak mempertimbangkan kondisi bangsa Indonesia yang multikultural, sehingga tidak ada alasan untuk dibatasi oleh negara c.q. pemerintah.

Pasal 28 ayat (1) UU Advokat Multitafsir

Pasal 28 ayat (1) UU Advokat itu sendiri bersifat multitafsir yang dapat ditafsirkan sebagai wadah tunggal (single bar association)atau sebagai federasi (federation of bar association). Ketidakjelasan rumusan “organisasi profesi advokat sebagai satu-satunya wadah profesi” ini telah menyebabkan isu konstitusionalitas UU Advokat, khususnya Pasal 28 ayat (1) UU Advokat dan menjadi isu untuk dikaji secara materiil oleh Mahkamah Konstitusi c.q. Pasal 28D UUD 1945 karena negara wajib menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid/ legal certainty)

Bahan Kajian Berupa Benturan Norma

Pada hakekatnya perkara no 66 mempersoalkan benturan norma yang menjadi bahan kajian atau isu konstitusionalitas UU Advokat yang dianggap para pemohon tidak sesuai dengan UUD 1945 yaitu antara hak berserikat advokat yang dibatasi Pasal 28 ayat (1) UU Advokat dan jaminan hak berserikat dalam pasal Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Belum lagi UU Advokat memuat benturan norma berupa pasal yang berbenturan dengan pasal yang lain, seperti mukadimah yang menjamin profesi advokat yang bebas dan mandiri, di Organisasi Advokat yang bebas dan bertanggung jawab serta peningkatan mutu advokat. Tetapi, di dalam Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (4) dan Pasal 30 ayat (2) UU Advokat terdapat pembatasan hak berserikat, keharusan menjadi anggota organisasi profesi advokat sebagai satu-satunya wadah profesi advokat dan membentuk organisasi yang dimaksud dalam kurun waktu 2 (dua) tahun. Benturan norma dalam pasal-pasal tadi, telah mengakibatkan ketidakpastian hukum yang dijamin dalam pasal 28 D UUD 1945 yang dapat menjadi kajian Mahkamah Konstitusi tentang konstitusionalitas UU Advokat.

Pada hakekatnya pengajuan permohonan uji materiil (materiële toetsingrecht) perkara Nomor 66 ke Mahkamah Konstitusi berlandaskan benturan norma aturan UU Advokat dan UUD 1945. Tidak dipermasalahkan keabsahan organisasi yang mengaku didirikan menurut UU Advokat karena itu bukan wewenang Mahkamah Konstitusi, begitu pula masalah sengketa dan perseteruan kepemimpinan organisasi advokat, tetapi lebih kepada konstitusionalitas dan keselarasan (compatibility) UU Advokat terhadap UUD 1945. Akibat ketidakselarasan itu mau tidak mau dibicarakan sebagai bukti adanya kerugian konstitusional para pemohon, para pencari keadilan (justitiabelen) dan masyarakat, tetapi itu bukan merupakan isu utama. Semua itu dalam rangka kerugian konstitusional yang dialami para pemohon, para pencari keadilan (justitiabelen) dan masyarakat pada umumnya. Juga pelanggaran hak asasi manusia dibahas seperti right to counsel atau hak untuk menunjuk advokat yang dipercaya seorang pencari keadilan, yang dilanggar sebagai akibat pembatasan hak berserikat dan berkumpul (berorganisasi) para advokat.

Peran Negara c.q. Pemerintah Diperlukan

Semoga tulisan ini dapat menjadikan  terang tentang dimasukannya  uji materiil UU Advokat dan jauh dari ribut-ribut advokat. Putusan Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menyelesaikan kekisruhan dalam tubuh organisasi advokat karena ketidakjelasan rumusan pasal 28 ayat 1 UU Advokat dan pasal-pasal lainnya sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini. Sebagai contoh, Negara Inggris dalam Legal Services Act 2007 secara jelas menyebutkan nama-nama organisasi advokat yang diakui untuk melakukan peran-peran tertentu, antara lain Law Society, The Master of Faculties, The Chartered Institute of Patent Attorneys, The Institute of Trade Mark Attorneys dan lain-lain,  di dalam UK Legal Services Act. UU Advokat tidak menjelaskan organisasi mana yang berwenang menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, kursus, ujian, pelantikan, penyumpahan dan sertifikasi advokat sepertiAdvocaten Wet di Belanda secara tegas menyebutkan NOVA (Nederlandse Orde Van Advocaten) sebagai bar association yang berwenang menyelenggarakan semua hal tersebut bekerjasama dengan negara c.q. pemerintah c.q. Menteri Kehakiman, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9b dan 9c Advocaten Wet:

“9c

The Netherlands Bar Association shall provide a study programme for trainees and offer trainees the opportunity to follow this training course, to be completed with an exam.

Yang dalam asli dari bahasa belanda menyatakan:

De Nederlandse orde van Advocaten draagt zorg voor stagiaires en stelt de stagiairein de gelegenheid deze opleiding te volgen die met een examen wordt afgesloten

9d

A Board of Governors shall supervise the study programme and the exam. The Board of Governors shall have five members, three of which are to be appointed by the Minister of Justice and two by the Assembly of Delegates. The Minister of Justice shall also elect the chairman from among the members.”

Jadi NOVA  berdiri sebagai single bar association sebelum UU Advokat (Advocaten Wet) diundangkan. Ini logis karena para advokat sendiri mempunyai aspirasi membentuk wadah tunggal (single bar association) dan bukan sebaliknya seperti diIndonesia, justru bar association (wadah organisasi profesi advokat satu-satunya) dibentuk menyusul diundangkannya UU Advokat tahun 2003. Wewenang menyelenggarakan pendidikan, kursus, ujian, pelantikan and penyumpahan yang tadinya dipegang Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung R.I.diserahkan kepada organisasi Advokat tanpa peraturan peralihan dan tanpa pengawasan negara c.q. pemerintah.

 

Ketidakjelasan inilah yang kemudian sebab perseteruan diantara pimpinan organisasi advokat . Paling tidak ada beberapa organisasi profesi advokat yang mengaku dirinya wadah tunggal (single bar association), sehingga konsep wadah tunggal ini tidak realistis lagi dipertahankan dan menjadi sumber perseteruan dan pertikaian yang tidak ada habisnya. Sejarah organisasi profesi advokat semenjak kemerdekaan adalah multi bar association. Apabila ingin disatukan, lebih realistis dalam bentuk federasi sehingga organisasi-organisasi profesi advokat yang ada dapat saling bersaing secara sehat untuk meningkatkan mutu advokat dan mengawasi perilaku advokat bersama-sama melalui Dewan Etika Nasional . Selain itu, untuk pendidikan, pelatihan, ujian, pelantikan dan penyumpahan advokat dilakukan melalui Badan Sertifikasi Nasional yang melibatkan negara c.q. pemerintah, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pendidikan Nasional, universitas, masyarakat hukum (law society), organisasi penegak hukum, dan lain-lain.

 

Dengan demikian hak berserikat advokat terjamin dan dihormati serta keributan selama ini dapat diatasi dengan melalui cara-cara konstitusional. Diharapkan di kemudian hari, para advokat muda yang terganggu dalam prakteknya dapat tenang memupuk karir dan berfungsi secara efisien dalam suasana yang demokratis dan kondusif. Hak-hak mereka terjamin dan setara dalam berkiprah sebagai advokat yang sudah ada rujukannya dalam Kode Etik Profesi Advokat, UU Advokat yang diamandemen dan 3 (tiga) instrumen internasional. Sebagaimana seorang filsuf besar Thomas Paine menyatakan:

A Declaration of rights is, by reciprocity, a Declaration of Duties also. Whatever is my right as man, is also a right of another; and it becomes my duty to guarantee, as well as to posses.

 

Begitu juga seorang filsuf Edmun Burke yang menyatakan:

“The rights of man are in sort of middle, incapable of definition, but not imposible to be discerned.

 

Tidak ada suatu pemerintahan dan pengadilan yang boleh melarang seorang advokat untuk berpraktek setelah dia memenuhi semua syarat yang telah ditentukan oleh Negara dan organisasi advokat. Diskriminasi seperti ini tidak boleh lagi terjadi di kemudian hari. Begitu pula hak berserikat tentang bagaimana bentuk bar association yang diinginkan, apakah single bar, federation of bar asociation, atau multi bar association itu harus ditentukan oleh para advokat sendiri dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, termasuk Negara melalui UU Advokat.

Semoga persoalan hak berserikat ini dapat diselesaikan secara konstitusional.

*Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)

 

 

Frans Hendra Winarta, "Mempersoalkan Hak Berserikat Advokat", hukumonline.com, 20 Juni 2011,

http://hukumonline.com/berita/baca/lt4dfeffaebd9df/mempersoalkan-hak-berserikat-advokat, (21 Juni 2011)