Deponeering sebagai Kewenangan Diskresi Jaksa Agung

Cetak

 

Dikotomi calon jaksa agung terus bergulir dan komentar serta pendapat silih berganti bersahutan apakah calon Jaksa Agung Republik Indonesia sebaiknya berasal dari “orang dalam” (jaksa karir) atau “orang luar” (jaksa non karir) Kejaksaan menjadi isu yang hangat. Suatu hal yang dapat dimengerti ketika kalangan jaksa lebih menjagokan jaksa karir untuk menjadi Jaksa Agung karena dianggap memahami fungsi dan misi jaksa, sehingga dapat menjamin kesinambungan kerja dan kinerja Kejaksaan. Sebaliknya, kalangan yang mendukung jaksa non karir mendambakan pembaharuan dan pembersihan ke dalam agar para jaksa dapat bekerja secara maksimal dan lepas dari praktek tercela mafia hukum (judicial corruption). Kedua kubu tentunya mempunyai alasan logis dan mendasar. Untuk itu, hal tersebut tergantung kepada kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menentukan prioritasnya untuk memilih Jaksa Agung sebagai ujung tombak penegakan hukum.

 

Ditengah maraknya penunjukan Jaksa Agung baru pengganti Jaksa Agung Hendarman Supandji, tidak kalah hangat isu perkara Bibit-Chandra menyusul penolakan Mahkamah Agung Republik Indonesia atas permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Kejaksaan dalam perkara pra-peradilan atas pembatalan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan perkara Bibit-Chandra oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal ini berarti kedua pemimpin KPK itu akan menghadapi peradilan perkara tuduhan pemerasan. Banyak kalangan yang mengharapkan agar deponeering diterapkan dalam perkara ini. Untuk itu, perlu kita melihat asal muasal deponeering di negeri asalnya yaitu Belanda, sebagai suatu diskresi Jaksa Agung beserta dengan latar belakangnya.

 

Sistem hukum kita yang berasal dari sistem hukum French-Dutch civil law menganggap jaksa bukan sebagai wakil rakyat dan tidak netral seperti hakim. Jaksa cenderung dipengaruhi pemerintah dan tidak lepas dari kebijakan pemerintah khususnya dalam penegakan hukum. Sejarah mencatat ketika Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813 timbul pertanyaan, apakah Jaksa merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif atau bagian dari pengadilan (kekuasaan yudikatif atau bagian dari keduanya). Kedudukan Jaksa oleh Raja William selaku penuntut umum (public prosecutor) ditaruh di bawah pemerintah seperti pejabat publik lainnya dengan hierarki yang sama. Raja William yang memerintah Kerajaan Belanda dari tahun 1813 sampai 1840, yaitu pada jaman restorasi, dimana sebagai raja yang otokratik, Raja William ingin memastikan pengaruhnya pada pengadilan yang independen dengan menaruh jaksa di bawah pemerintah. Dia berpendapat kedudukan jaksa tidak lepas dari pengaruh pemerintah, khususnya dalam penegakan hukum. Dengan menaruh jaksa di bawah pemerintah, Raja ingin memastikan pengaruhnya terhadap pengadilan. Pada waktu itu hakim dianggap sebagai “gens de la loi” (Law official) dan jaksa penuntut umum sebagai “gens du Roi” (The King’s Man). Jaksa, menurut raja adalah agen dari pemerintah. Oleh karena itu, jaksa mewakili pemerintah di dalam sidang pengadilan. Jaksa bukanlah wakil rakyat dan tidak perlu seperti hakim. Jaksa berfungsi sebagai pembela dari ketertiban hukum (advocate of legal order) yang harus dipeliharanya. Waktu itu, jaksa melayani kepentingan pemerintah. Dengan cara ini, pemerintah dapat mempengaruhi hakim. Artinya, konsep berpikir pemerintah pada saat itu adalah untuk melayani kepentingan politiknya sendiri melalui penegakan hukum dengan caranya sendiri. Singkatnya upaya memelihara ketertiban hukum bukan lain daripada mengabdi kepada kepentingan politik pemerintah pada waktu itu.

 

Di pihak lain, hakim mempunyai tugas melindungi rakyat terhadap pemerintah, khususnya ketika pemerintah melanggar hak individu atau hak asasi manusia individu. Sebenarnya jaksa pun mempunyai tugas yang sama dalam menegakkan keadilan, dalam melindungi rakyat. Paling tidak pemikiran tentang fungsi jaksa (termasuk Jaksa Agung) tentunya mempengaruhi pemimpin Indonesia, sebagai bangsa yang pernah menjadi koloni Belanda, selama ini yang menempatkan jaksa (termasuk Jaksa Agung) di bawah naungan Pemerintah,.

 

Seperti halnya Raja William, setiap orang yang berkuasa ingin mempertahankan kekuasaannya, bahkan beberapa penguasa ingin mempertahankan kekuasaannya selamanya. Semua pemerintah ingin mempengaruhi cabang kekuasaan lainnya dalam suatu negara. Begitu pula, terdapat upaya parlemen mengontrol pemerintah agar tidak mempengaruhi lembaga pengadilan. Jadi selalu ada proses tarik-menarik antara ketiga cabang kekuasaan.

 

 

 

Prinsip kewenangan Diskresi (Principle of Discretionary Power) dari Jaksa

 

Salah satu kewenangan jaksa yang paling penting di Belanda adalah prinsip oportunitas (principle of opportunity) atau prinsip kewenangan diskresi (Principle of Discretionary Power). Setelah Belanda merdeka pada tahun 1813, namun hukum Perancis yaitu Code d’Instructive Criminalle (Code of Criminal Procedure) dan code penal (penal code) masih terus berlaku selama kurun waktu tertentu.

 

Prinsip Oportunitas ini pada tahun 1926 dimasukkan ke dalam hukum acara pidana Belanda, yang sehari-hari dikenal dalam bahasa Perancis sebagai seponer atau dalam Bahasa Belanda sebagai seponeren (menyisihkan), yang berarti menyingkirkan suatu kasus (perkara) dan juga berarti keputusan untuk tidak menuntut suatu kasus (perkara) atau classer sans suite (take no further action). Keputusan itu dinamakan sepot, dimana di Indonesia kemudian dikenal sebagai deponeering yang berarti menyimpan.

 

Dalam sistem penuntutan di Belanda, dimungkinkan untuk sepot dalam suatu kasus (perkara) pidana. Pada dasarnya, prinsip oportunitas memungkinkan jaksa penuntut umum untuk memilih menuntut suatu kasus (perkara) atau tidak. Jaksa dapat mengabaikan penuntutan suatu kasus (perkara) atas dasar atau alasan “demi kepentingan umum”. Pernyataan ini dapat dilakukan pada setiap tingkat perkara pengadilan. Di Belanda, jaksa memiliki 2 kombinasi kekuasaan utama, yaitu: Yang pertama adalah kekuasaan oportunitas; dan yang kedua adalah kekuasaan jaksa untuk menginstruksikan polisi menginvestigasi suatu kasus atau tidak, atau menentukan bentuk kejahatan apa yang harus diinvestigasi sebagai prioritas. Dalam hal deponeren, menurut Piet – Hein  A. J. Cremers, seorang penuntut umum di Pengadilan Banding di Arnhem (Belanda) dalam artikelnya “fight against criminality: Relation between Public Prosecutor and Police”, yang dikutip dalam majalah Demo-Droit Themis, ”The Role of the Public Prosecutor Officer in a Democratic Society” Messine (Sicily), 5-7 Juni 1996, menyatakan tentang hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menerapkan deponeering, sebagai berikut:

  1. Apakah tersangka akan memperbaiki perilakunya;
  2. Apakah norma-norma hukum yang mendasari suatu tuntutan tindak pidana tertentu akan lebih sering dilanggar kalau tuntutan disisihkan;
  3. Apakah akan timbul keresahan masyarakat kalau tindak pidana tidak dituntut.

 

Semua ini dapat dijawab bukan melihat kasus per kasus secara individual tetapi berdasarkan hasil riset kriminologi.

 

Kembali pada kasus Bibit-Chandra, jika melihat sejarah deponeering atau oportunitas tadi, maka dengan alasan demi kepentingan umum, perkara Bibit-Chandra seharusnya di-deponeering. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai berikut:

            Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:

               ...

             c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”.

 

Deponeering perkara Bibit-Chandra diperlukan mengingat adanya dugaan upaya pelemahan KPK, dimana KPK yang telah dibentuk dengan susah payah yang statusnya berada di depan dalam upaya pemberantasan korupsi perlu diselamatkan dari upaya pelemahan demi kepentingan umum. Seharusnya, Tim Delapan sejak semula merekomendasikan deponeering dan bukan penyelesaian di luar pengadilan dalam perkara yang sudah berstatus P-21.

 

Namun, pada akhirnya semua ini bergantung kepada kebijaksanaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memimpin program pemberantasan korupsi. Dimana hal tersebut memerlukan ketegasan dan keberanian beliau untuk membuat keputusan yang dapat menyelamatkan KPK.

 

 

Jakarta, 17 Oktober 2010

 

Dr. Frans H. Winarta

Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)

Terakhir Diupdate ( Selasa, 26 Oktober 2010 13:01 )