PRESS RELEASE AUDIENSI PERADIN DENGAN KOMNASHAM

Cetak

PRESS RELEASE

AUDIENSI PERSATUAN ADVOKAT INDONESIA– KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Indonesia, Jl. Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310. Jumat, 5 November 2010, pukul 10.00 – 11.30 WIB. 

 Kedatangan pengurus Persatuan Advokat Indonesia (“PERADIN”) ke komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia pada hari ini dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang pengaktifan kembali PERADIN sejak 2008, sebagai gagasan beberapa advokat senior karena merasa prihatin, atas kemelut organisasi advokat di Indonesia dan kondisi penegakan hukum sekarang yang menjurus kepada komersialisasi jabatan, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) kekuasaan yang sewenang-wenang (abus de pouvoir), upaya pelemahan lembaga pemberantasan korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”)), korupsi yudisial dan kriminalisasi hak-hak tertentu melalui undang-undang dan kekacauan dalam legislasi dan kekacauan penegakan hukum.  

Hampir bisa dipastikan jika terdapat kejahatan dalam tubuh lembaga penegakan hukum dan profesi hukum (advokat) jarang terdengar para petinggi atau para pejabat dari lembaga penegak hukum dan profesi hukum (advokat) dikenakan sanksi yang memadai dan adil sesuai dengan aspirasi dan rasa adil masyarakat, dimana dalam hal ini yang menjadi korban biasanya adalah bawahan. Maraknya korupsi yudisial (judicial corruption) yang melibatkan penegak hukum dan profesi hukum (advokat) merupakan ancaman serius terhadap eksistensi dan cita-cita negara hukum (rechsstaat). Yang terjadi sekarang adalah penonjolan dan pamer kekuasaan yang menjurus kepada  negara kekuasaan (machtstaat).

Campur tangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan pemerintah dalam perseteruan dan kemelut Perhimpunan Advokat Indonesia (“PERADI”) vs Kongres Advokat Indonesia (“KAI”) akhir-akhir ini, dimana Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”) dan yang terakhir adalah SEMA Nomor 089/KMA/VI/2010, tertanggal tanggal 25 Juni 2010 yang pada intinya hanya mengakui PERADI sebagai satu-satunya organisasi advokat untuk menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (“PKPA”) dan melantik (menyumpah) calon advokat adalah salah satu bentuk campur tangan (intervensi) lembaga yudikatif terhadap profesi hukum (advokat) sebagai profesi bebas (free profesion).

Dengan mengakui bahwa hanya ada satu organisasi sebagai wadah organisasi advokat satu-satunya melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan SEMA Nomor 089/KMA/VI/2010, negara telah membatasi dan melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional para advokat dan para pencari keadilan (justitiabelen). Dengan demikian para advokat diharuskan menjadi anggota PERADI dan para pencari keadilan dilanggar hak asasinya untuk bebas memilih advokat (right to counsel) karena hanya dapat menunjuk dan memilih advokat anggota PERADI saja dan tidak bisa memilih advokat dari organisasi advokat lainnya. Ini bertentangan dengan  kebebasan para pencari keadilan memilih advokat yang diinginkannya (freedom to appoint lawyer of its free choice). Jelas ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dimana negara membatasi hak pencari keadilan menunjuk atau memilih advokat yang diinginkan dan dipercayainya. Sedangkan advokat yang tidak menjadi anggota PERADI tidak dapat memperoleh pekerjaan yang dijamin Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tentang hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan organisasi advokat diluar PERADI didiskriminasi dan tidak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ujian advokat, kursus advokat (PKPA) dan keanggotaan advokat telah dimonopoli oleh PERADI sehingga organisasi advokat lainnya tidak dapat berkembang dan dibatasi.

Dari pelanggaran-pelanggaran yang diuraian di atas, yang paling serius dilanggar adalah hak untuk berserikat (freedom of association) yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang menghendaki adanya satu-satunya wadah organisasi advokat di Indonesia, telah menyebabkan berbagai kendala, kerugian, potensi kerugian dan pelanggaran hak asasi manusia dan sekaligus hak konstitusional para advokat, masyarakat dan khususnya para pencari keadilan (justitiabelen).

Undang-undang advokat adalah merupakan tujuan antara (gemideld einden) dan bukan merupakan tujuan akhir (het doel einden) dari tujuan mencapai organisasi advokat yang bersatu, berwibawa dan kompak (solid) yang dapat menjalankan fungsi profesi bebas (free profession) sebagai pembela masyarakat, pembela para pencari keadilan (justitiabelen) dan pengawal konstitusi (guardian of the constitution). Oleh karena itu UU Advokat perlu direvisi (amandemen) dan menghilangkan ketentuan-ketentuan yang melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional masyarakat, para pencari keadilan (justitiabelen) dan para advokat.

Untuk itu para advokat PERADIN pada tanggal 14 Oktober 2010 telah mengajukan judicial review UU Advokat kepada Mahkamah Konstitusi dengan alasan adanya pelanggaran terhadap hak konstitusional yaitu:

1.      Hak berserikat;

2.      Hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum; dan

3.      Hak untuk memperoleh pekerjaan.

Demikian press release ini dibuat oleh organisasi advokat tertua di Indonesia yang didirikan di Surakarta, 30 Agustus 1964 yang merupakan organisasi perjuangan dan memperjuangkan keadilan, kebenaran dan hak asasi manusia.

Jakarta, 5 November 2010

Badan Pengurus PERADIN

 

 

Dr. Frans H. Winarta

Ketua Umum

Terakhir Diupdate ( Sabtu, 06 November 2010 11:17 )