Menjelang pemilihan dua kandidat Ketua KPK yang diajukan Panitia Seleksi Ketua KPK di DPR, banyak terjadi silang pendapat tentang siapa yang layak untuk memimpin institusi superbody ini. Lembaga ujung tombak pemberantasaan korupsi ini pasca penahanan dan penuntutan ketuanya Antasari Azhar seolah-olah lesu darah dan kehilangan gairah dan kegarangan yang ditunjukan selama ini. Dengan kriminalisasi terhadap pejabat-pejabat KPK telah melumpuhkan kegiatan anti korupsi yang banyak diharapkan masyarakat dari lembaga ini. Namun persoalan-persoalan internal telah mengakibatkan dampak yang besar terhadap kegiatan pemberantasan korupsi.
Tentunya dalam kondisi KPK seperti ini masyarakat banyak mengharapkan perbaikan kinerja KPK dan melihat lembaga superbody ini kembali aktif dalam program pemberantasan korupsi di negeri ini. Hanya dari dua calon Ketua KPK yang diajukan Panitia Seleksi Ketua KPK banyak diperdebatkan siapa yang paling layak memegang tampuk pimpinan KPK. Ada juga pihak yang menyatakan keduanya layak dijadikan Ketua KPK menimbang ”track record” kedua calon pimpinan KPK tersebut. tetapi persoalannya sekarang adalah apa cukup ”track record” mereka saja yang jadi acuan? Tentunya tidak, karena persyaratan yang harus dipenuhi adalah sangat kompleks dan menantang seperti kemampuan memimpin, penguasaan sistem manajemen lembaga penegak hukum, pengambilan putusan dalam keadaan kritis, pandangan jauh ke depan apa yang akan dilakukan KPK dari sekarang sampai tahun 2020; membersihkan ke dalam lembaga KPK dari anasir-anasir korup dan berjiwa status quo, dan pengaruh semangat korps dari pejabat yang berasal dari Polri dan Kejaksaan; serta segudang syarat yang diperlukan untuk menjawab tantangan-tantangan tadi.
Terkait dengan semangat korps, maka sudah saatnya KPK sebagai lembaga superbody memiliki penyelidik, penyidik dan penuntut umum sendiri yang tidak terikat sama sekali dengan lembaga penegak hukum lainnya yaitu kepolisian dan kejaksaan. Hal ini mengingat penyelidik, penyidik dan penuntut umum dari kepolisian dan kejaksaan hanya diberhentikan sementara selama mereka menjadi pegawai pada KPK dan dapat direkrut kembali oleh lembaga penegak hukum tadi sehingga logis kalau loyalitas dan karirnya berada di induk organisasinya. Dengan demikian diharapkan independensi KPK bisa terjaga dan terhindar dari semangat korps. Perluasan kekuasaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tadi juga memperkuat peran KPK dalam pemberantasan korupsi sesuai dengan fungsinya sebagai superbody.
Kemampuan Adaptasi
Bagi seorang birokrat seperti Busyro Muqoddas lebih mudah beradaptasi dengan staf KPK yang ada, dari sudut manajemen juga dia sudah terbiasa dengan protokol dan hubungan kerekanan baik di dalam KPK maupun dengan lembaga penegak hukum lainnya, resistensi rendah karena orang sudah mengenalnya melalui sepak terjang di Komisi Yudisial dan kalangan dalam di KPK lebih mudah menyesuaikan dengan gaya kepemimpinannya yang sudah dikenal sewaktu menjadi ketua Komisi Yudisial.
Sebaliknya bagi Bambang Widjojanto, dia lebih sulit beradaptasi karena kepemimpinannya belum dikenal staf KPK dan akan selalu membandingkannya dengan ”track record” kepemimpinannya di YLBHI. Keuntungan psikologis barangkali karena pernah menjadi kuasa atau pembela Bibit-Chandra sewaktu mengalami musibah. Kepemimpinannya tidak banyak dikenal kalangan dalam KPK maupun masyarakat, akan mengalami kendala beradaptasi dengan program dan manajemen KPK, serta kemungkinan cukup tinggi resistensi terhadap seorang non birokrat. Hubungan dengan lembaga penegak hukum lainnya juga dapat menjadi kendala mengingat yang bersangkutan pernah mengajukan permintaan kepada Presiden SBY untuk memberhentikan Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Semangat korps di kedua lembaga itu cukup tinggi dan hal ini akan menjadi persoalan tersendiri.
Ketua KPK yang Berkarakter Rela Berkorban
Selain kemampuan adaptasi tersebut di atas, sosok Ketua KPK yang ideal juga selayaknya mempunyai karakter rela berkorban untuk kepentingan umum, khususnya terhadap rakyat Indonesia yang sudah lama menderita akibat korupsi yang sistemik dan endemik di Indonesia. Dia harus berjiwa sosial dan siap berkorban untuk kepentingan rakyat serta melupakan kepentingan dan ambisinya sendiri. Dalam tingkah laku sehari-hari berani hidup sederhana, menerima usulan dan laporan tentang kasus korupsi secara rasional, komprehensif dan serius. Sadar bahwa pekerjaan dan jabatan yang dipangkunya mengandung resiko tinggi, dapat dikriminalkan oleh kelompok yang tidak setuju program pemberantasan korupsi dan yang terpenting adalah bersikap independen dalam jabatan dan aksinya memberantas korupsi. Bahwa ia mempunyai kelemahan dan pernah keliru di masa lalu bukanlah persoalan yang perlu dibesar-besarkan karena setiap manusia pernah melakukan kesalahan, sekarang yang penting adalah sikapnya untuk selalu mencoba memperbaiki diri dan tidak mengulang kesalahannya.
Ukuran Kesuksesan KPK
Terlepas dari semua kriteria calon Ketua KPK tadi, kesuksesan KPK dalam memberantas korupsi sangat bergantung kepada soliditas lembaga itu khususnya kepemimpinan para pejabat teras KPK dan dukungan presiden, serta lembaga-lembaga penegak hukum lainnya seperti Polri dan Kejagung. Kalau KPK bisa menularkan sikap anti korupsi kepada kedua lembaga penegak hukum tadi dan pengadilan negeri khususnya Mahkamah Agung RI dengan tindakan nyata seperti menghukum para terdakwa korupsi dengan hukuman maksimal, melarang dan menindak tegas pemberian gratifikasi termasuk dalam bentuk parsel kepada jajarannya. Selain itu dalam hal penanganan kasus korupsi, maka sepatutnya KPK diberikan tugas untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang besar seperti misalnya kasus BLBI. Hal ini untuk menangkap the Big Fish (fried the Big Fish). Jika mereka bisa diadili dan dihukum, maka mereka yang “kecil” akan ketakutan dan bukan tidak mungkin akan menyerahkan diri, selain itu orang akan berpikir dua kali untuk melakukan korupsi. Jika hal tersebut telah terlaksana, maka boleh dikatakan KPK berhasil dalam misinya memberi contoh dan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi dengan memberi inspirasi bagaimana harus bersikap, bertindak dan menegakkan hukum dalam memberantas korupsi sebagai musuh rakyat nomor satu pada saat ini.
Semoga siapapun pimpinan atau ketua KPK ke depan dapat memberi suatu kontribusi terhadap program pemberantasan korupsi di Indonesia. Barangkali kita perlu mengutip pendapat Bernard Shaw melihat keadaan yang dihadapi rakyat Indonesia terkini yaitu:
”Ada dua hal yang terasa menyedihkan dalam hidup, yang pertama adalah tidak mendapatkan apa yang diingini dan yang kedua adalah mendapatkan apa yang tidak diingini.”
Jelas rakyat Indonesia menginginkan pemberantasan korupsi yang menyebabkan berbagai persoalan seperti birokrasi yang korup, kemiskinan, moral masyarakat yang hancur dan sulitnya pembersihan birokrasi dari anasir dan praktek korupsi. Yang didapatkan sekarang adalah kemauan politik yang lemah dan ragu-ragu dalam pemberantasan korupsi, birokrasi yang korup, masyarakat yang tidak taat hukum dan pemberantasan korupsi yang setengah hati. Pemberantasan korupsi ini lebih cenderung kepada pencitraan daripada kesungguhan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Tanpa pembersihan ke dalam lembaga penegak hukum, maka program pemberantasan korupsi tidak akan berhasil.
Jakarta, 9 September 2010
Dr. Frans H. Winarta
Ketua Umum PERADIN